PENDAHULUAN
BAB
I
1.1
Latar belakang
Pada
usus dapat terjadi gangguan atau gejala penyakit akibat oleh parasit yang
habitatnya pada usus tersebut. Gejala
klinis yang ditimbulkan dari yang paling ringan (asimptomatik), ataupun hanya
merupakan gejala lokal pada usus sampai paling berat dengan gejala sistemik
yang dapat menimbulkan kematian pada hospesnya.
Penyakit cacing usus penyebabnya adalah cacing
yang habitatnya di usus dengan beberapa pembagian, salah satunya adalah
nematoda usus. Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi
masyarakat Indonesia karena masih banyak yang mengidap cacing ini sehubungan
banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup suburnya cacing parasiter ini.
Faktor penunjang ini antara lain keadaan alam serta iklim, sosial ekonomi,
pendidikan, kepadatan penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan yang kurang
baik (Natadisastra, 2005)
Diantara nematoda usus
terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang tercemar oleh
cacing. Infeksi cacing menyerang semua golongan umur terutama anak-anak dan
balita. Apabila infeksi cacing yang terjadi pada anak-anak dan balita maka
dapat mengganggu tumbuh kembang anak, sedangkan jika infeksi terjadi pada orang
dewasa dapat menurunkan produktivitas kerja. Diantara cacing usus yang menjadi
masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang
ditularkan melalui tanah, seperti Ascarislumbricoides, Trichuris
trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang).
Pencemaran tanah
merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia
melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut
bersama makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan
dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Di
Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada
lokasi dan sanitasi lingkungan (Mardiana, 2008). Penularan cacingan lebih
banyak terjadi pada daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti
sanitasi lingkungan yang ditunjang dengan kepadatan penduduk. Cacingan dapat
menyebabkan kekurangan gizi yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas hidup.
Ascariasis adalah
penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Ascaris
lumbricoides adalah salah satu spesies nematoda usus yang banyak menyerang
manusia, hampir 25% populasi penduduk dunia, yaitu lebih dari 1,4 miliar orang
telah terinfeksi cacing ini. Berdasarkan hasil penelitian Lamghari (2005),
disertai dengan hasil studi epidemiologi, ditemukan adanya hubungan antara
penyakit Ascariasis pada anak dengan tempat tinggal mereka yang dekat dengan
air limbah (Wani, 2010).
1.2 Tujuan
Tujuan makalah ini
disusun antara lain :
1. Mengetahui
klasifikasi dari nematoda parasit usus.
2. Mengetahui
epidemiologi, distribusi geografis dan kondisi penyakit terkini yang disebabkan
oleh nematoda parasit usus.
3. Mengetahui
morfologi nematoda parasit usus.
4. Mengetahui
siklus hidup nematoda parasit usus.
5. Mengetahui
patologi penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
6. Mengetahui
cara pencegahan dan pengendalian yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
BAB 2
PEMBAHASAN
Spesies nematoda usus yang ditemukan pada
manusia adalah Ascaris lumbricoides,
Trichuris trichiura, Enterobius vermicucularis, Strongyloides
stercoralis, Ancylostoma duodenale, Ancylostoma braziliense, Ancylostoma
caninum, Necator americanus, Toxocara canis, dan Toxocara cati. Umumnya
manusia merupakan hospes definitif. Tiap spesies nematoda usus memiliki
morfolgi yang berbeda-beda. Cacing betina ukurannya lebih besar daripada jantan
(Muslim, 2005).
1.
Ascaris
lumbricoides(Large roundworm of man)
bankofbiology.blogspot.com
a.
Klasifikasi
Phylum
: Nemathelminthes
Class : Nematoda
Subclass :
Secernemtea
Ordo : Ascoridida
Super
famili : Ascoridciidea
Genus :
Ascaris
Species :
Ascaris lumbricoides
(Muslim,2005)
b.
Epidemiologi
Parasit ini ditemukan
kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980
menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar
78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah
dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis
terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah
dasar. Prevalensi Ascaris sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur
pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000. Cacing ini terutama
menyerang anak usia 5-9 tahun, sedangkan menurut jenis kelamin tidak
menunjukkan perbedaan nyata, artinya laki-laki dan perempuan memiliki
kemungkinan terinfeksi yang sama. (Natadisastra, 2005)
Telur tahan terhadap deinfektan
kimiawi dan terhadap rendaman sementara di dalam berbagai bahan kimia yang
keras. Telur dapat hidup berbulan-bulan di dalam air selokan dan tinja.
(Nugroho, Cahyono dkk, 2010)
c.
Morfologi
Cacing jantan berukuran 10 –
30 cm, sedangkan yang betina 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus
muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir;
terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.
Telur yang dibuahi, besarnya
kurang lebih 60 x 45 mikron dan tidak dibuahi 90 x 40 mikron.Dalam lingkungan
yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu
kuranglebih 3 minggu(Staff Pengajar Departemen
Parasitologi, 2008).
Cacing Ascaris merupakan cacing terbesar
diantara golongan nematoda, yang berbentuk silindris, ujung anterior lancip,
anterior memiliki 3 bibir (triplet), badan berwarna putih, kuning kecoklatan
diselubungi lapisan putih tulang bergaris halus. Telur memiliki 4 bentuk, yaitu
dibuahi (fertilizet) tidak dibuahi (afertilizet), matang, dan dekortikasi (Muslim,
2005).
d.
Siklus Hidup
Keterangan :
1.
Cacing dewasa
dalam usus
2.
Telur dalam
feses
3.
Berkembang
menjadi bentuk infektif di tanah
4.
Telur ditelan
5.
Menetas dalam
usus dalam bentuk larva
6.
Larva menembus
larva, bermigrasi melalui aliran darah ke jantung dan alveoli darah
7.
Masuk ke dalam
trakea dan tertelan kembali
(Staff Pengajar
Departemen Parasitologi, 2008)
Telur keluar bersama tinja dalam
keadaan belum membelah. Untuk menjadi infektif diperlukan kematangan di tanah
yang lembab dan teduh selama 20-24 hari dengan suhu optimum 30°C. Telur
infektif berembrio, bersama makanan akan tertelan, sampai di lambung, telur
menetas, dan keluar larva. Cairan lambung akan mengaktifkan larva, bergerak
menuju usus halus, kemudian menembus mukosa usus untuk masuk ke dalam kapiler
darah.
Larva terbawa aliran darah ke hati,
jantung kanan, akhiirnya ke paru-paru. Untuk sampai ke paru-paru dibutuhkan
waktu 1-7 hari setelah infeksi. Selanjutnya larva keluar dari kapiler darah
masuk ke dalam alveolus, terus ke bronchcolus, bronkus, trachea sampai ke
laring yang kemudian akan tertelan masuk ke esofagus, ke lambung, dan kembali
ke usus halus untuk kemudian menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan oleh larva
untuk berimigrasi, mulai larva menembus mukosa usus, ke paru-paru, dan berakhir
di lumen usus, 10-15 hari, sedangkan waktu yang dibutuhkan mulai berada di
dalam usus yang kedua kalinya sampai menjadi cacing dewasa yang dapat menghasilkan
telur, 6-10 minggu (Natadisastra, 2005).
e.
Patologi
Gejala yang timbul pada penderita
dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya
terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi pendarahan kecil di
dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam dan
eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3
minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan
cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus
ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada
anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutri dan
penurunan status kognitif pada anak sekolah dasar. Efek yang serius terjadi
bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada
keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke
bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga menimbulkan keadaan
gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif(Staff Pengajar
Departemen Parasitologi, 2008).
f.
Pencegahan
dan Pengendalian
Pencegahan Ascariasis ditujukan
untuk memutuskan salah satu mata rantai dari siklus hidup Ascaris lumbricoides, antara lain dengan melakukan pengobatan
penderita ascariasis, dimaksudkan untuk menghilangkan sumber infeksi;
pendidikan kesehatan terutama mengenai kebersihan makanan dan pembuangan tinja
manusia; dianjurkan agar buang air besar tidak pada sembarangan tempat serta
mencuci tangan sebelum makan, memasak makanan, sayuran, dan air dengan baik.
Air minum jarang merupakan sumber infeksi ascariasis (Natadisastra, 2005).
Pencucian yang tidak sempurna akan
mempengaruhi mikroorganisme patogen yang terdapat pada sayuran. Penelitian
Astrawan juga menunnjukkan adanya beberapa mikroorganisme serta pestisida yang
tidak hilang akibat pencucian, apalagi kalo tidak dilakukan dengan tekhnik yang
benar. Untuk lebih amannya, mencuci sayuran dengan air matang atau air mengalir
khusus untuk sayuran dan buah-buahan (Astuti dan Siti, 2010).
2.
Trichuris
trichiura
a.
Klasifikasi
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Ttichinelloidea
Genus :Trichuris
Species : Trichuris trichiura
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Super famili :Ttichinelloidea
Genus :Trichuris
Species : Trichuris trichiura
(Staff
Pengajar Departemen Parasitologi, 2008)
b.
Epidemiologi
Yang
penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh
di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira-kira 30°C. Di
berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia
frekuensinya berkisar antara 30-90%.
Di
daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita
trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan
kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci
dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri-negeri
yang memakai tinja sebagai pupuk (Staff Pengajar
Departemen Parasitologi, 2008).
c.
Morfologi
Trichuris trichiura
jauh lebih kecil dari Ascaris
lumbricoides, anterior panjang dan sangat halus, posterior lebih tebal.
Betina panjangnya 35-50 mm, dan jantan panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran
50-54 x 32 mikron, bentuk seperti tempayan atau tong, di kedua ujung ada
operkulum (mukus yang jernih) berwarna kuning tengguli, bagian dalam jernih,
dan dalam feses segar terdapat sel telur. (Muslim, 2005)
d.
Siklus Hidup
Keterangan
:
1.
Telur dalam tinja (bentuk dignostik)
2.
Stadium 2 sel
3.
Telur
berembrio (bentuk infektif)
4.
Larva
menetas dalam usus
5.
Menembus
dan tumbh dalam mukosa
6.
Cacing
dewasa dalam sekum
(Entjang,
2011)
e.
Patologi
Cacing
Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing ini
tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukrosa rektum
yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi.
Cacing ini memasukan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi tyrauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya
terjadi pendarahan. Di samping ini ternyata cacing ini menghisap darah
hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris yang berat
dan menahun, menunjukan gajala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi
dengan sindrom disehuris yang berat dan menahun, menunjukan gajala-gejala nyata
seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat
badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai
dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak
memberikan gejala klinis jelas atau sma sekali tanpa gejala, parasit ini ditemukan
pada tinja secara rutin (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
f.
Pencegahan
dan Pengendalian
Sama
dengan pencegahan ascariasis (Natadisastra, 2005)
3.
Enterobius
vermicularis
a.
Klasifikasi
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Secernemtea
Ordo :Oxyurida
Super famili :Oxyuroidea
Genus :Enterobius
Species :Enterobius vermicularis
Class :Nematoda
Subclass :Secernemtea
Ordo :Oxyurida
Super famili :Oxyuroidea
Genus :Enterobius
Species :Enterobius vermicularis
(Natadisastra,
2005)
b.
Epidemiologi
Penularan dapat terjadi
pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan
yang sama. Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan
manusia 3%-80%. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok
usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia antara 5-9
tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Penularan dapat
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu penularan dari tangan ke mulut sesudah
menggaruk daerah perianal (auto-infeksi) yang dapat menyebarkan telur kepada
orang lain maupun dari diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian
yang terkontaminasi. Penularan dapat juga melalui debu yang diterbangkan oleh
angin dan terinfeksi oleh telur. Selain itu dapat ditularkan pula dengan
retrofeksi melalui anus: larva yang menetas di sekitar anus kembali masuk ke
usus (Staff Pengajar Departemen Parasitologi,
2008).
c.
Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x
0,4 mm. Pada ujung anteriornya ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang
disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali ekornya panjang dan runcing.
Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran 2-5
mm juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda
tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di
rongga sekum, usus besar, dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum
(Gunn and Sarah, 2012).
d.
Siklus hidup
Keterangan
:
1. Telur
2.
tertelan -> melalui jalan napas
3.
Larva menetas di duodenum
4. Proses kopulasi cacing betina
dan jantan terjadi di daerah sekum
5. Cacing betina gravid mengembara
ke perianal
(Staff
Pengajar Departemen Parasitologi, 2008)
e.
Patologi
Enterobiasis relatif tidak berbahaya
jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan
iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi
ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing
bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan proritusani maka penderita menggaruk
daerah di sekitar anus. Keadaan ini terjadi pada waktu malam hari hingga
penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Terkadang cacing dewasa muda
bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung
sehingga menyebabkan gangguan pada daerah tersebut. Cacing betina gravid
mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan
radang di saluran telur.
Beberapa gejala infeksi Enterobius
vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas tinggi,
enuresis, cepat marah, insomnia, gigi menggeretak dan masturbasi, tetapi
kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Gunn
and Sarah, 2012).
f.
Pencegahan dan pengendalian
Terutama ditujukan
kepada kebersihan perorangan. Kuku dipotong pendek, cuci tangan sesudah buang
air besar dan sebelum makan, serta mencuci daerah anus setelah bangun tidur.
Kontaminasi terhadap makanan dilakukan dengan menghindari makanan dari debu
atau mengambil makanan dengan tangan kotor. Sehabis mandi menukar celana
terutama celana dalam dengan celana yang bersih (Natadisastra, 2005).
4.
Strongyloides
stercoralis
a.
Klasifikasi
Phylum :Nemathelminthes
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Superfamili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species :Strongyloides stercoralis
Class :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo :Enoplida
Superfamili :Rhabiditoidea
Genus :Strongyloides
Species :Strongyloides stercoralis
(Natadisastra,
2005)
b.
Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban tinggi
dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing Stongyloides sehingga
terjadi daur hidup yang tidak langsung.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan
larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun
1956 sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan. Pencegahan strongiloidiasis
terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah
yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
Penerangan kepada masyarakat
mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting
untuk pencegahan strongiloidiasis (Staff
Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
c.
Morfologi
Cacing ini disebut cacing benang,
terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk parasitik di dalam intestinum
vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik dan telur dapat berkembang
di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif yang bersifat parasitik
atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan betina. Bentuk bebas
ditandai dengan adanya cacing jantan dan betina dengan esofagus rabditiform,
ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung vulva terletak di pertengahan
tubuh. Bentuk parasitik ditandai dengan esofagus filariform tanpa bulbus
posterior, larva infektif dari generasi parasitik mampu menembus kulit dan ikut
aliran darah.
Cacing dewasa betina hidup sebagai
parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus,
tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cacing dewasa betina memiliki
esofagus pendek dengan dua bulbus dan uterusnya berisi telur dengan ekor
runcing. Cara berkembang biaknya adalah secara parthenogenesis. Telur bentuk
parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform
yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan
yang hidup bebas panjangnya kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus,
ekor melingkar dengan spikulum. Larva rabditiform panjangnya ± 225 mikron,
ruang mulut: terbuka, pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor
runcing. Larva Filariform bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron, langsing,
tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esophagus menempati setengah panjang badan,
bagian ekor berujung tumpul berlekuk (Gunn and Sarah, 2012).
d.
Siklus hidup
Parasit ini mempunyai
tiga macam daur hidup :
1)
Siklus
langsung
Sesudah
2 – 3 hari di tanah, larva rabditiform, berubah menjadi larva filaform dengan
bentuk langsing.Bila larva ini menembus kulit manusia, larva tumbuh,masuk ke
dalam peredaran darah veha kemudian melalui jantung sampai ke paru-paru. Dari
paru, parasit yang mulai dewasa,menembus alveolus, masuk ke trakea dan
laring.Sesudah sampai di laring,tarjadi refleks batuk, sehingga parasit
tertelan, kemudian sampai di usus halus dan menjadi dewasa.
2)
Siklus
tidak langsung
Pada
siklus ini, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan
betina.Cacing betina berukuran 1mm x 0,06mm, dan yang jantan berukuran 0,75 mm
x 0.04 mm. Cacing betina mengalami pembuahan dan menghasilkan larva rabditiform
yang kemudian menjadi larva filaform. Larva ini masuk ke dalam hospes baru.
Siklus tidak langsung ini terjadi apabila lingkungan sekitarnya optimum yaitu
sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini,
misalnya di negeri-negeri tropik beriklim rendah.
3)
Autoinfeksi
Telur menetas menjadi larva rabditiform di dalam mukosa usus -> di dalam usus larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform -> larva filariform menembus mukosa usus, tumbuh menjadi cacing dewasa (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
Telur menetas menjadi larva rabditiform di dalam mukosa usus -> di dalam usus larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform -> larva filariform menembus mukosa usus, tumbuh menjadi cacing dewasa (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
e.
Patologi
Bila larva filaroform dalam jumlah
besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption
yang sering disertai rasa gatal yang hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan
pada mukosa usus halus. Infeksi ringan Strongyloides pada umumnya
terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak mungkin menimbulkan gejala.
Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah
epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah; diare dan
konstipasi saling bergantian. Pada stongiloidiasis dapat terjadi autoinfeksi
dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit
dapat ditemukan diseluruh traktusdigestivus dan larvanya dapat ditemukan
diberbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu).
Pada pemeriksaan darah mungkin
ditemukan eosinofilia tau hipereosinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah
eosinofil normal (Staff Pengajar
Departemen Parasitologi, 2008).
f.
Pencegahan dan pengendalian
Penularan strongiloidasisdapat
dicegah dengan cara menghindari kontak dengan tanah, tinja atau genangan air
yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Tindakan pencegahannya
dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan infeksi cacing tambang pada
umumnya seperti memakai alat-alat yang menyehatkan untuk pembuangan kotoran
manusia dan memakai sepatu atau alas kaki waktu bekerja di kebun. Upaya
pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada
masyarakat mengenai cara penularan, cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Pengendalian bisa dilakukan yaitu
apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, orang itu harus segera diobati.
Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat mebendazol, pirantel pamoat dan
levamisol walaupun hasilnya kurang memuaskan. Saat ini obat yang banyak dipakai
adalah tiabendazol(Gunn and Sarah, 2012).
5.
Necator
americanus
www.stanford.edu
a. Klasifikasi
N. americanus
Phylum
: Nematode
Class
: Secernentea
Ordo : Strongylida
Famili : Uncinariidae
Genus : Necator
Species : Necatoramericanus
Ordo : Strongylida
Famili : Uncinariidae
Genus : Necator
Species : Necatoramericanus
(Muslim, 2005)
b. Epidemiologi
Insiden
tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan,
khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja pekerbunan yang langsung berhungan
dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%.
Kebiasan
defakasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupik kebun (di berbagai daerah
tertentu) paling dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan
larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N.americanus
28 C-32 C, sedangkan untuk A.doudenale lebih rendah
(23 C-25 C). Pada umumnya A.doudenale lebih kuat. Untuk
menghindari infeksi, antara lain dengan menggunakan sandal atau sepatu (Entjang,
2011).
c. Morfologi
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang
besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina berukuran kurang lebih ± 1 cm, sedangkan cacing jantan ± 0,8 cm. Bentuk
badan Ancylostoma duodenalemenyerupai huruf C sedangkan bentuk badanNecator
americanusbiasanya menyerupai bentuk S. Rongga mulut kedua jenis cacing ini
besar. Ancylostoma duodenalemempunyai dua pasang gigi sedangkanNecator
americanusmempunyai benda kitin. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.
Cacing betina tiap harinya mampu
mengeluarkan telur kira-kira 10.000-25.000 butir. Telur dikeluarkan dengan
tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform.
Dalam waktu ± 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform, yang
dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah.
Telur cacing tambang besarnya ±
60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat
beberapa sel. Larva rabditiform panjangnya ± 250 mikron, sedangkan larva filariform
panjangnya ± 600 mikron (Gunn and Sarah, 2012).
d.
Siklus Hidup
Siklus hidupnya sebagai berikut : Telur → larva
rabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiler darah → jantung kanan
→ paru → bronkus → trakea → laring → usus halus.Infeksi terjadi bila larva
filariform menembus kulit.
Infeksi Ancylostoma duodenalejuga dapat
terjadi dengan menelan larva filariform.
e. Patologi
Gejala Necatoriasis dan
Ankilostomiasis
·
Stadium larva:
Bila
banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit
yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya dengan. Infeksi larva
filariform Adoudenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala
mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak.
·
Stadium dewasa:
Gejala
tergantung pada (a) spesies dalam jumlah cacing dan (b) keadaan gizi penderita
(Fe dan Protein). Tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Aduodenale 0,08-0,34 cc. pada infeksi
kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu
juga terdapat eosinifilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian,
tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Staf Pengajar Departemen
Parasitologi, 2008).
g.
Pencegahan dan
Pegendalian
Pencegahan:
·
Menghindari kontak langsung dengan
tanah dan tempat kotor lainnya.
·
Hendaknya pembuangan feses pada
tempat/WC yang baik.
·
Melindungi orang yang mungkin
mendapat infeksi.
·
Pemberantasan melalui perbaikan
sanitasi lingkungan
·
Hendaknnya penggunaan tinja sebagai
pupuk dilarang, kecuali tinja tersebut
sudah
dicampur dengan zat kimia tertentu untuk membunuh parasitnya.
·
Penerangan melalui sekolah-sekolah.
·
Menjaga kebersihan diri.
·
Selalu menggunakan sandal atau alas
kaki ketika bepergian.
·
Meminum vitamin B12 dan asamfolat.
Pengendalian:
Pengendalian
dilakukan dengan cara pengobatan. Pengobatan yang dilakukan yaitu melalui obat
pilihan bernama tetrakloretilen (juga infektif untuk Ancylostoma duodenale ).
Obat lain yang bisa digunakan adalah mebendazol, albendazol, pirantelpamoat,
bitoskamat, dan befenium hidrosinafoat (Entjang, 2011).
6. Ancylostoma duodenale, Ancylostoma
braziliense, Ancylostoma caninum
Ancylostoma duodenale
http://nematode.net/Images/duodenale.jpg
Ancylostoma braziliense
http://t1.gstatic.com
Ancylostoma caninum
http://t3.gstatic.com
a.
Klasifikasi
Klasifikasi Ancylostoma braziliense
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Nematoda
Class
: Secernentea
Order
: Strongylida
Family
: Ancylostomatidae
Genus
: Ancylostoma
Species
: Ancylostoma braziliense
Klasifikasi Ancylostoma ceylanicum
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Nematoda
Class
: Secernentea
Order
: Strongylida
Family
: Ancylostomatidae
Genus
: Ancylostoma
Species
: Ancylostoma ceylanicum
Klasifikasi Ancylostoma caninum
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Nematoda
Class
: Secernentea
Order
: Strongylida
Family
: Ancylostomatidae
Genus
: Ancylostoma
Species
: Ancylostoma caninum
(Muslim, 2005)
b.
Epidemiologi
Ketiga cacing ini ditemukan di daerah topik dan
subtropik dan juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan
bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense,
sedangkan pada sejumlah anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan
68% Ancylostoma caninum. Diantara 100 anjing, 37% mengandung Ancylostoma
ceylanicum. Cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing sebanyak 24%.
Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya (Gunn dan
Sarah,2012).
c.
Morfologi
Ancylostoma
braziliense mempunyai dua pasang gigi yang tidak sama besarnya. Panjang cacing
jantan 4,7 – 6,3 mm dan cacing betina 6,1 – 8,4 mm.
Ancylostoma
ceylanicum dapat tumbuh menjadi dewasa pada manusia, di rongga mulut terdapat
dua pasang gig yang tidak sama besarnya. Diantara 100 anjing, 3,7% mengandung Ancylostoma
ceylanicum. Cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan
sekitarnya.
Ancylostoma caninum
mempunyai tiga pasang gigi. Panjang cacing jantan 10 mm dan caing betina 14 mm (Staff
Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
d.
Siklus Hidup
·
Anak anjing muda maupun anak
kucing sangat rentan terhadap infeksi oleh cacing tambang karena pada umur 2-4
minggu persediaan Fe akan merosot yang disebabkan makanan utama anak anjing
adalah air susu yang memang sangat kecil kandungan Fe nya. Anak anjing yang
terinfeksi berat, segera mengalami anemia akut. Perdarahan usus terjadi pada
hari ke 8 pasca infeksi dan pada akhir minggu ke 3 pasca infeksi penderita
kehilangan darah setiap harinya setara dengan 20 % dari total volume
eritrositnya. Pada anjing dan kucing dewasa hilangnya darah sebagian
terkompensasi oleh kegiatan eritropoesis.
·
Infeksi anjing oleh A braziliense dan U stenocephala tidak megakibatkan
perdarahan ebat seperti pada infeksi oleh A caninum. Infeksi kedua spesies
tersebut cenderung lebih banyak ditandai oleh hipoproteinemia, radang usus, dan
atrofiparsial villi intestinales. Hilangnya vili usus halus juga dialami oleh
anjing yang terinfeksi A caninum dan mengakbatkan gangguan absorbsi makanan (Staf
Pengajar Departemen Parasitologi, 2008 ).
e.
Patologi
Pada
manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut
creeping erouption, creeping diseas
atau cutaneous larva migrans.
Creeping erouption adalah dermatitis dengan
gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa, yang antara lain
disebabkan Ancylostoma
braziliensedan Ancylostoma
caninum. Pada tempat larva
filariform membus kulit menjadi papel keras, merah dan gatal. Dalam beberapa
hari terbentuk terowongan intrakutan sempit, yang tampak sebagi garis merah,
sedikit menimbul gatal, gatal sekali dan bertambah panjang sesuai gerakan larva
di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok-kelok, terdapat vesikel kecil dan
dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk.
Di Jakarta pernah
dipelajari dipelajari 46 kasus creeping
erouption yang terjadi atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama
ditemukan pada kaki dan juga lengan bawah, punggung dan bokong(Staf Pengajar
Departemen Parasitologi, 2008).
f.
Pencegahan dan
Pengendalian
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif Ancylostoma
braziliense dan Ancylostoma caninum. Penularan bisa dicegah dengan
menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjing dan
kucing. Pengobatan pada kucing perlu mempertimbangkan jenis obat cacing yang
digunakan dan umur atau berat minimum si kucing. Beberapa obat seperti
diklorofen atau toluen hanya boleh diberikan pada kucing setidaknya dengan
berat badan 1kg dan ivermektin setidaknya pada umur kucing 6 minggu diberikan
selama 3 hari. Pyrantel pamoat dapat diberikan setelah umur 2 minggu sekali
saja. adapula obat yang tidak boleh diberikan pada kucing, seperti golongan
Milbemycin. Pengobatan Creeping eruption dapat dilakukan dengan
memberikan semprotan kloretil ataupun albendazole, dosis tunggal 400 mg selama
3 hari berturut-turut cukup efektif. Pada anak dibawah umur 2 tahun albendazole
diberikan dalam bentuk salep 2 % (Natadisastra, 2005).
8.
Toxocara canis dan Toxocara cati
a.
Klasifikasi
Klasifikasi
Toxocara canis dan Toxocara cati
Phylum : Nemathelminthes
Class :
Nematoda
Subclass : Secernemtea
Ordo :
Ascoridida
Super famili : Ascoridciidea
Genus : Toxocara
Species : Toxocara
canis /cati
b. Epidemiologi
Di
Indonesia angka prevalensi tinggi terjadi pada anak-anak yang berusia antara
1-7 tahun, di Jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26 %. Mereka
lebih sering menghabiskan waktu bermainnya di rerumputan, duduk di pasir, yang
merupakan tempat dimana cacing jenis ini berada. Pada remaja, biasanya terjadi
pada mereka yang memiliki kegiatan yang aktif, misalnya, silat
(berguling-guling di rerumputan, tanah, dsb), ataupun kegiatan yang berhubungan
dengan tanah atau lapangan kotor. Sedangkan pada usia dewasa juga bisa terjadi
pada mereka yang melakukan kegiatan kerja bakti membersihkan parit, halaman,
pengangkut pasir, dsb. Tanah, lapangan, rumput yang terkontaminasi oleh cacing
ini sangat mendukung cacing jenis ini untuk tinggal dan berkembang biak (Pujiyanto,
2004).
c. Morfologi
Toxocara
canis jantan mempunyai ukuran panjang
bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 10,0 cm, Toxocara
cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, yang betina antara 2,5 – 14,0 cm.
Bentuknya
menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis
terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara
cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular
kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan ekornya berbentuk
seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan
yang betina ekornya bulat meruncing. Telur menjadi infektif di tanah dalam
waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini dapat tertelan oleh anjing,
kucing, bahkan manusia (Entjang, 2011).
d.
Siklus hidup
Siklus hidup Toxocara canis dan
Toxocara cati pada anjing atau kucing serupa dengan siklus askariasis pada
manusia..
Siklus hidup Toxocara cati sebagian
besar cacing gelang mempunyai siklus hidup yang mirip. Kebanyakan telur cacing
menetas dalam waktu dua minggu. Obat cacing membasmi cacing dengan cara merusak
sistem syaraf cacing. Obat cacing tidak bisa membasmi telur cacing karena telur
tidak mempunyai sistem syaraf. Oleh karena itu pemberian obat cacing harus
diulang 2 minggu kemudianagar cacing yang berasal dari telur yang baru menetas
dapat segera dibasmi dengan tuntas.
Cacing Toxocara canis, hidup di
tanah, lumpur, pasir dan tempat-tempat kotor. Varian lain diantaranya: Toxocara
cati, Toxocara vitulorum, Toxocara pteropodis, Toxocara malayasiensis dll.
Cacing ini daur hidupnya terutama melalui anjing, kucing dan dilaporkan bisa
melalui herbivora (Pujiyanto, 2004).
e. Patologi
Pada
manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat dalam,
khususnnya di hati. Penyakit yang disebabkan larva yang mengembara ini disebut visceral
larva migrans dengan gejala eosinofilia, demam dan hepatomegali.
Visceral larva migrans dapat disebabkan oleh larva nematoda lain (Gunn and
Sarah, 2012).
Infeksi
kronis biasanya ringan terutama menyerang anak-anak, yang belakangan ini
cenderung juga menyerang orang dewasa, disebabkan oleh migrasi larva dari
Toxocara dalam organ atau jaringan tubuh (Pujiyanto, 2004).
f. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan terhadap bahaya Toxocara canis dan Toxocara
cati dapat dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun setelah memegang
tanah atau sebelum makan. Selanjutnya dengan menghindari terjadinya kontaminasi
tanah dan pekarangan tempat anak-anak bermain dari kotoran anjing dan kucing,
terutama didaerah perkotaan dikompleks perumahan. Anjing dan kucing diberi obat
cacing mulai dari usia tiga minggu, diulangi sebanyak tiga kali berturut-turut
dengan interval 2 minggu dan diulang setiap 6 bulan sekali. Begitu juga
binatang piaraan yang sedang menyusui anaknya diberikan obat cacing. Kotoran
hewan baik yang diobati maupun yang tidak hendaknya dibuang dengan cara yang
saniter (Entjang, 2011).
PENUTUP
Kesimpulan :
a. Species
Nematoda intestinalis yang ditemukan
pada manusia adalah A. Lumbricoides, T.
Trichiura, O. Vermicularis, S.
Stercoralis, A. Duodenale, A. Brazilinase,
A. Canium, N. Americanus, T. Spiralis,
T. Canis dan T. Cati.
b. Pada
umumnya manusia menjadi hospes definitif Nematoda
intestinalis.
c. Morfologi
setiap Nematoda intestinalis
berbeda-beda. Cacing betina ukurannya lebih besar daripada cacing jantan.
d. Pada
umumnya, spesies Nematoda intestinalis
sebelum tumbuh dewasa, larvanya berada di dalam serkulasi darah (siklus paru),
kecuali T. Trichiura.
e. Gejala
klinis yang disebabkan Nematoda
intestinalis dipengaruhi oleh tingkat infeksi (jumlah cacing), jenis
parasit, stadium parasit (larva/dewasa), lokalisasi parasit dan lamanya kasus
infeksi.
f. Diagnosis
penyakit yang disebabkan oleh Nematoda
intestinalis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, bilasan
duodenum, larva dalam jaringan melalui teknik jaringantekan atau diwarnai, tes
intradernal dan tes serologi.
g. Pengobatan
penyakit yang disebabkan oleh species Nematoda
intestinalis harus dibarengi dengan upaya peningkatan higienis dan
sanitasi.
h. Infeksi
pada umumnya melalui tanah yang terkontaminasi tinja yang mengandung telur
cacing (soil transmitted helminths),
misalnya askariasis, trikuriasis, enterobiasis. Dalam daur hidupnya, Nematoda intestinalis membutuhkan kondisi lingkungan yang mempunyai temperatur
dan kelembaban yang sesuai.
i.
Lingkungan yang
dibutuhkan oleh A. Lumbricoides sama
dengan lingkungan yang dibutuhkan oleh T.
Trichiura, sedangkan cacing tambang mempunyai persamaan dengan S. Stercoralis.
j.
Upaya pencegahan infeksi yang disebabkan oleh Nematoda
intestinalis dapat dilakukan dengan pengobatan (individu dan masal),
menghindari kontak dengan debu, tidak defekasi di sembarang tempat, sayuran
dimasak sampai matang, memakai alas kaki, menghindari kontak/berdekatan dengan
anjing dan kucing.
Astuti, Siti Aminah .2010.Identifikasi Telur Cacing Usus pada Lalapan Daun Kubis yang Dijual Pedagang Kaki lima
di Kawasan Simpang Lima Semarang.
Jurnal.unimus.ac.id. 9 Maret 2013 pukul 11.25 WIB
Entjang,
Indan. 2011. Mikrobiologi danParasitologi. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Gunn,
Alan and Sarah J.Pitt. 2012. Parasitology: An Integrated Approach. UK:
John Wiley and Sons Ltd.
Muslim, M. 2005.
Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Natadisastra,
Djaenudin. 2005. Parasitologi Kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang
diserang. Jakarta: EGC.
Nugroho, Cahyono dkk.
2010. Identifikasi Kontaminasi Telur
Nematoda Usus pada Sayuran Kubis (Brassica
oleracea) Warung Makan Lesehan Wonosari
Gunung Kidul Yogyakarta tahun2010.
Journal.uad.ac.id. 8 Maret 2013 pukul 10.20 WIB
Pujiyanto, Sri.
2004. Khazanah Pengetahuan Biologi. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri.
Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Parasitologi
Kedokteran. Jakarta:
Universitas Indonesia
Wani,
Imtiaz and Mir Nazir. 2010. Historical Review of Intestinal Ascariasis:
Surgical History. Global Journal of Medical Research. Vol.10 Issue 3 (Ver
1.0) 8 Maret 2013 pukul 11.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar