Selasa, 19 Maret 2013

NEMATODA PARASIT USUS


PENDAHULUAN
BAB I
1.1 Latar belakang
Pada usus dapat terjadi gangguan atau gejala penyakit akibat oleh parasit yang habitatnya pada usus tersebut.  Gejala klinis yang ditimbulkan dari yang paling ringan (asimptomatik), ataupun hanya merupakan gejala lokal pada usus sampai paling berat dengan gejala sistemik yang dapat menimbulkan kematian pada hospesnya.
 Penyakit cacing usus penyebabnya adalah cacing yang habitatnya di usus dengan beberapa pembagian, salah satunya adalah nematoda usus. Nematoda usus merupakan kelompok yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia karena masih banyak yang mengidap cacing ini sehubungan banyaknya faktor yang menunjang untuk hidup suburnya cacing parasiter ini. Faktor penunjang ini antara lain keadaan alam serta iklim, sosial ekonomi, pendidikan, kepadatan penduduk serta masih berkembangnya kebiasaan yang kurang baik (Natadisastra, 2005)
Diantara nematoda usus terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah yang tercemar oleh cacing. Infeksi cacing menyerang semua golongan umur terutama anak-anak dan balita. Apabila infeksi cacing yang terjadi pada anak-anak dan balita maka dapat mengganggu tumbuh kembang anak, sedangkan jika infeksi terjadi pada orang dewasa dapat menurunkan produktivitas kerja. Diantara cacing usus yang menjadi masalah kesehatan adalah kelompok “soil transmitted helminth” atau cacing yang ditularkan melalui tanah, seperti Ascarislumbricoides, Trichuris  trichiura dan Ancylostoma sp (cacing tambang).
Pencemaran tanah merupakan penyebab terjadinya transmisi telur cacing dari tanah kepada manusia melalui tangan atau kuku yang mengandung telur cacing, lalu masuk ke mulut bersama makanan. Tinggi rendahnya frekuensi tingkat kecacingan berhubungan dengan kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menjadi sumber infeksi. Di Indonesia prevalensi kecacingan masih tinggi antara 60% – 90 % tergantung pada lokasi dan sanitasi lingkungan (Mardiana, 2008). Penularan cacingan lebih banyak terjadi pada daerah kumuh yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti sanitasi lingkungan yang ditunjang dengan kepadatan penduduk. Cacingan dapat menyebabkan kekurangan gizi yang dapat mengakibatkan turunnya kualitas hidup.
Ascariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Ascaris lumbricoides adalah salah satu spesies nematoda usus yang banyak menyerang manusia, hampir 25% populasi penduduk dunia, yaitu lebih dari 1,4 miliar orang telah terinfeksi cacing ini. Berdasarkan hasil penelitian Lamghari (2005), disertai dengan hasil studi epidemiologi, ditemukan adanya hubungan antara penyakit Ascariasis pada anak dengan tempat tinggal mereka yang dekat dengan air limbah (Wani, 2010).

1.2 Tujuan
Tujuan makalah ini disusun antara lain :
1.    Mengetahui klasifikasi dari nematoda parasit usus.
2.    Mengetahui epidemiologi, distribusi geografis dan kondisi penyakit terkini yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
3.    Mengetahui morfologi nematoda parasit usus.
4.    Mengetahui siklus hidup nematoda parasit usus.
5.    Mengetahui patologi penyakit yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.
6.    Mengetahui cara pencegahan dan pengendalian yang disebabkan oleh nematoda parasit usus.









BAB 2
PEMBAHASAN

   Spesies nematoda usus yang ditemukan pada manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Enterobius vermicucularis, Strongyloides stercoralis, Ancylostoma duodenale, Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, Necator americanus, Toxocara canis, dan Toxocara cati. Umumnya manusia merupakan hospes definitif. Tiap spesies nematoda usus memiliki morfolgi yang berbeda-beda. Cacing betina ukurannya lebih besar daripada jantan (Muslim, 2005).

1.             Ascaris lumbricoides(Large roundworm of man)


 







bankofbiology.blogspot.com
a.              Klasifikasi
          Phylum                : Nemathelminthes
          Class                   : Nematoda
          Subclass               : Secernemtea
          Ordo                              : Ascoridida
          Super famili         : Ascoridciidea
          Genus                  : Ascaris
          Species                : Ascaris lumbricoides
          (Muslim,2005)



b.             Epidemiologi
Parasit ini ditemukan kosmopolit. Survei yang dilakukan di Indonesia antara tahun 1970-1980 menunjukkan pada umumnya prevalensi 70% atau lebih. Prevalensi tinggi sebesar 78,5% dan 72,6% masih ditemukan pada tahun 1998 pada sejumlah murid dua sekolah dasar di Lombok. Di Jakarta sudah dilakukan pemberantasan secara sistematis terhadap cacing yang ditularkan melalui tanah sejak 1987 di sekolah-sekolah dasar. Prevalensi Ascaris sebesar 16,8% di beberapa sekolah di Jakarta Timur pada tahun 1994 turun menjadi 4,9% pada tahun 2000. Cacing ini terutama menyerang anak usia 5-9 tahun, sedangkan menurut jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan nyata, artinya laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan terinfeksi yang sama. (Natadisastra, 2005)
Telur tahan terhadap deinfektan kimiawi dan terhadap rendaman sementara di dalam berbagai bahan kimia yang keras. Telur dapat hidup berbulan-bulan di dalam air selokan dan tinja. (Nugroho, Cahyono dkk, 2010)

c.              Morfologi
Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan yang betina 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi.
Telur yang dibuahi, besarnya kurang lebih 60 x 45 mikron dan tidak dibuahi 90 x 40 mikron.Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kuranglebih 3 minggu(Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
Cacing Ascaris merupakan cacing terbesar diantara golongan nematoda, yang berbentuk silindris, ujung anterior lancip, anterior memiliki 3 bibir (triplet), badan berwarna putih, kuning kecoklatan diselubungi lapisan putih tulang bergaris halus. Telur memiliki 4 bentuk, yaitu dibuahi (fertilizet) tidak dibuahi (afertilizet), matang, dan dekortikasi (Muslim, 2005).




d.             Siklus Hidup
http://medicastore.com/images/Askariasis_siklushidup.gif
Keterangan :
1.      Cacing dewasa dalam usus
2.      Telur dalam feses
3.      Berkembang menjadi bentuk infektif di tanah
4.      Telur ditelan
5.      Menetas dalam usus dalam bentuk larva
6.      Larva menembus larva, bermigrasi melalui aliran darah ke jantung dan alveoli darah
7.      Masuk ke dalam trakea dan tertelan kembali
(Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008)

Telur keluar bersama tinja dalam keadaan belum membelah. Untuk menjadi infektif diperlukan kematangan di tanah yang lembab dan teduh selama 20-24 hari dengan suhu optimum 30°C. Telur infektif berembrio, bersama makanan akan tertelan, sampai di lambung, telur menetas, dan keluar larva. Cairan lambung akan mengaktifkan larva, bergerak menuju usus halus, kemudian menembus mukosa usus untuk masuk ke dalam kapiler darah.
Larva terbawa aliran darah ke hati, jantung kanan, akhiirnya ke paru-paru. Untuk sampai ke paru-paru dibutuhkan waktu 1-7 hari setelah infeksi. Selanjutnya larva keluar dari kapiler darah masuk ke dalam alveolus, terus ke bronchcolus, bronkus, trachea sampai ke laring yang kemudian akan tertelan masuk ke esofagus, ke lambung, dan kembali ke usus halus untuk kemudian menjadi dewasa. Waktu yang diperlukan oleh larva untuk berimigrasi, mulai larva menembus mukosa usus, ke paru-paru, dan berakhir di lumen usus, 10-15 hari, sedangkan waktu yang dibutuhkan mulai berada di dalam usus yang kedua kalinya sampai menjadi cacing dewasa yang dapat menghasilkan telur, 6-10 minggu (Natadisastra, 2005).

e.              Patologi
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi pendarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut sindrom Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehingga memperberat keadaan malnutri dan penurunan status kognitif pada anak sekolah dasar. Efek yang serius terjadi bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu, apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga kadang-kadang perlu tindakan operatif(Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

f.              Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan Ascariasis ditujukan untuk memutuskan salah satu mata rantai dari siklus hidup Ascaris lumbricoides, antara lain dengan melakukan pengobatan penderita ascariasis, dimaksudkan untuk menghilangkan sumber infeksi; pendidikan kesehatan terutama mengenai kebersihan makanan dan pembuangan tinja manusia; dianjurkan agar buang air besar tidak pada sembarangan tempat serta mencuci tangan sebelum makan, memasak makanan, sayuran, dan air dengan baik. Air minum jarang merupakan sumber infeksi ascariasis (Natadisastra, 2005).
Pencucian yang tidak sempurna akan mempengaruhi mikroorganisme patogen yang terdapat pada sayuran. Penelitian Astrawan juga menunnjukkan adanya beberapa mikroorganisme serta pestisida yang tidak hilang akibat pencucian, apalagi kalo tidak dilakukan dengan tekhnik yang benar. Untuk lebih amannya, mencuci sayuran dengan air matang atau air mengalir khusus untuk sayuran dan buah-buahan (Astuti dan Siti, 2010).

2.             Trichuris trichiura


 









a.              Klasifikasi
Phylum              :Nemathelminthes
Class                  :Nematoda
Subclass :Adenophorea
Ordo                  :Enoplida
Super famili       :Ttichinelloidea
Genus                :Trichuris
Species               : Trichuris trichiura
(Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008)



b.             Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab dan teduh dengan suhu optimum kira-kira 30°C. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90%.
Di daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan mentah adalah penting apalagi di negeri-negeri yang memakai tinja sebagai pupuk (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

c.              Morfologi
Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides, anterior panjang dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina panjangnya 35-50 mm, dan jantan panjangnya 30-45 mm. Telur berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti tempayan atau tong, di kedua ujung ada operkulum (mukus yang jernih) berwarna kuning tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses segar terdapat sel telur. (Muslim, 2005)

d.             Siklus Hidup

Keterangan :
1.      Telur dalam tinja (bentuk dignostik)
2.      Stadium 2 sel
3.      Telur berembrio (bentuk infektif)
4.      Larva menetas dalam usus
5.      Menembus dan tumbh dalam mukosa
6.      Cacing dewasa dalam sekum
(Entjang, 2011)
e.              Patologi
Cacing Trichuris pada manusia terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukrosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukan kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi tyrauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya terjadi pendarahan. Di samping ini ternyata cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris yang berat dan menahun, menunjukan gajala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disehuris yang berat dan menahun, menunjukan gajala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri, anemia, berat badan turun dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat Trichuris trichiura sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis jelas atau sma sekali tanpa gejala, parasit ini ditemukan pada tinja secara rutin (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

f.              Pencegahan dan Pengendalian
Sama dengan pencegahan ascariasis (Natadisastra, 2005)


3.             Enterobius vermicularis


 








                                            www.flickriver.com 

a.              Klasifikasi
Phylum           :Nemathelminthes
Class               :Nematoda
Subclass          :Secernemtea
Ordo               :Oxyurida
Super famili    :Oxyuroidea
Genus             :Enterobius
Species            :Enterobius vermicularis
(Natadisastra, 2005)

b.             Epidemiologi
Penularan dapat terjadi pada suatu keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama. Hasil penelitian menunjukkan angka prevalensi pada berbagai golongan manusia 3%-80%. Penelitian di daerah Jakarta Timur melaporkan bahwa kelompok usia terbanyak yang menderita enterobiasis adalah kelompok usia antara 5-9 tahun yaitu terdapat 46 anak (54,1%) dari 85 anak yang diperiksa.
Penularan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu penularan dari tangan ke mulut sesudah menggaruk daerah perianal (auto-infeksi) yang dapat menyebarkan telur kepada orang lain maupun dari diri sendiri karena memegang benda-benda maupun pakaian yang terkontaminasi. Penularan dapat juga melalui debu yang diterbangkan oleh angin dan terinfeksi oleh telur. Selain itu dapat ditularkan pula dengan retrofeksi melalui anus: larva yang menetas di sekitar anus kembali masuk ke usus (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

c.              Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Pada ujung anteriornya ada pelebaran kutikulum seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus jelas sekali ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm juga mempunyai sayap dan ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya, spikulum pada ekor jarang ditemukan. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga sekum, usus besar, dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum (Gunn and Sarah, 2012).

d.             Siklus hidup
Keterangan :
1. Telur
2.  tertelan -> melalui jalan napas
3.  Larva menetas di duodenum
4. Proses kopulasi cacing betina dan jantan terjadi di daerah sekum
5. Cacing betina gravid mengembara ke perianal
(Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008)
e.              Patologi
Enterobiasis relatif tidak berbahaya jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang menonjol disebabkan iritasi di sekitar anus, perineum, dan vagina oleh cacing betina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan proritusani maka penderita menggaruk daerah di sekitar anus. Keadaan ini terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Terkadang cacing dewasa muda bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan pada daerah tersebut. Cacing betina gravid mengembara dan dapat bersarang di vagina dan di tubafalopi sehingga menyebabkan radang di saluran telur.
Beberapa gejala infeksi Enterobius vermicularis yaitu kurang nafsu makan, berat badan turun, aktivitas tinggi, enuresis, cepat marah, insomnia, gigi menggeretak dan masturbasi, tetapi kadang-kadang sukar untuk membuktikan hubungan sebab dengan cacing kremi (Gunn and Sarah, 2012).

f.              Pencegahan dan pengendalian
Terutama ditujukan kepada kebersihan perorangan. Kuku dipotong pendek, cuci tangan sesudah buang air besar dan sebelum makan, serta mencuci daerah anus setelah bangun tidur. Kontaminasi terhadap makanan dilakukan dengan menghindari makanan dari debu atau mengambil makanan dengan tangan kotor. Sehabis mandi menukar celana terutama celana dalam dengan celana yang bersih (Natadisastra, 2005).

4.             Strongyloides stercoralis







                         bio390parasitology.blogspot.com
a.              Klasifikasi
Phylum           :Nemathelminthes
Class               :Nematoda
Subclass          :Adenophorea
Ordo               :Enoplida
Superfamili     :Rhabiditoidea
Genus             :Strongyloides
Species            :Strongyloides stercoralis
(Natadisastra, 2005)

b.             Epidemiologi
Daerah yang panas, kelembaban tinggi dan sanitasi yang kurang, sangat menguntungkan cacing Stongyloides sehingga terjadi daur hidup yang tidak langsung.
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur, berpasir dan humus. Frekuensi di Jakarta pada tahun 1956 sekitar 10-15%, sekarang jarang ditemukan. Pencegahan strongiloidiasis terutama tergantung pada sanitasi pembuangan tinja dan melindungi kulit dari tanah yang terkontaminasi, misalnya dengan memakai alas kaki.
Penerangan kepada masyarakat mengenai cara penularan dan cara pembuatan serta pemakaian jamban juga penting untuk pencegahan strongiloidiasis (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

c.              Morfologi
Cacing ini disebut cacing benang, terdapat bentuk bebas di alam dan bentuk parasitik di dalam intestinum vertebrata. Bentuk parasitik adalah parthenogenetik dan telur dapat berkembang di luar tubuh hospes, langsung menjadi larva infektif yang bersifat parasitik atau dapat menjadi bentuk larva bebas yang jantan dan betina. Bentuk bebas ditandai dengan adanya cacing jantan dan betina dengan esofagus rabditiform, ujung posterior cacing betina meruncing ke ujung vulva terletak di pertengahan tubuh. Bentuk parasitik ditandai dengan esofagus filariform tanpa bulbus posterior, larva infektif dari generasi parasitik mampu menembus kulit dan ikut aliran darah.
Cacing dewasa betina hidup sebagai parasit di vilus duodenum dan yeyunum. Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cacing dewasa betina memiliki esofagus pendek dengan dua bulbus dan uterusnya berisi telur dengan ekor runcing. Cara berkembang biaknya adalah secara parthenogenesis. Telur bentuk parasitik diletakkan di mukosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform yang masuk ke rongga usus serta dikeluarkan bersama tinja. Cacing dewasa jantan yang hidup bebas panjangnya kira-kira 1 mm, esophagus pendek dengan 2 bulbus, ekor melingkar dengan spikulum. Larva rabditiform panjangnya ± 225 mikron, ruang mulut: terbuka, pendek dan lebar. Esophagus dengan 2 bulbus, ekor runcing. Larva Filariform bentuk infektif, panjangnya ± 700 mikron, langsing, tanpa sarung, ruang mulut tertutup, esophagus menempati setengah panjang badan, bagian ekor berujung tumpul berlekuk (Gunn and Sarah, 2012).

d.             Siklus hidup
http://reflow.scribd.com/1ft25mnvggmeeql/images/image-3.jpg

Parasit ini mempunyai tiga macam daur hidup :
1)             Siklus langsung
Sesudah 2 – 3 hari di tanah, larva rabditiform, berubah menjadi larva filaform dengan bentuk langsing.Bila larva ini menembus kulit manusia, larva tumbuh,masuk ke dalam peredaran darah veha kemudian melalui jantung sampai ke paru-paru. Dari paru, parasit yang mulai dewasa,menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring.Sesudah sampai di laring,tarjadi refleks batuk, sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus dan menjadi dewasa.
2)             Siklus tidak langsung
Pada siklus ini, larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan betina.Cacing betina berukuran 1mm x 0,06mm, dan yang jantan berukuran 0,75 mm x 0.04 mm. Cacing betina mengalami pembuahan dan menghasilkan larva rabditiform yang kemudian menjadi larva filaform. Larva ini masuk ke dalam hospes baru. Siklus tidak langsung ini terjadi apabila lingkungan sekitarnya optimum yaitu sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk kehidupan bebas parasit ini, misalnya di negeri-negeri tropik beriklim rendah.
3)             Autoinfeksi
Telur menetas menjadi larva rabditiform di dalam mukosa usus -> di dalam usus larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform -> larva filariform menembus mukosa usus, tumbuh menjadi cacing dewasa (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

e.              Patologi
Bila larva filaroform dalam jumlah besar menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat.
Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus halus. Infeksi ringan Strongyloides pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak mungkin menimbulkan gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Mungkin ada mual dan muntah; diare dan konstipasi saling bergantian. Pada stongiloidiasis dapat terjadi autoinfeksi dan hiperinfeksi. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan diseluruh traktusdigestivus dan larvanya dapat ditemukan diberbagai alat dalam (paru, hati, kandung empedu).
Pada pemeriksaan darah mungkin ditemukan eosinofilia tau hipereosinofilia meskipun pada banyak kasus jumlah eosinofil normal (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
f.              Pencegahan dan pengendalian
Penularan strongiloidasisdapat dicegah dengan cara menghindari kontak dengan tanah, tinja atau genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif. Tindakan pencegahannya dilakukan sesuai dengan pencegahan penularan infeksi cacing tambang pada umumnya seperti memakai alat-alat yang menyehatkan untuk pembuangan kotoran manusia dan memakai sepatu atau alas kaki waktu bekerja di kebun. Upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai cara penularan, cara pembuatan serta pemakaian jamban.
Pengendalian bisa dilakukan yaitu apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, orang itu harus segera diobati. Pengobatan dilakukan dengan menggunakan obat mebendazol, pirantel pamoat dan levamisol walaupun hasilnya kurang memuaskan. Saat ini obat yang banyak dipakai adalah tiabendazol(Gunn and Sarah, 2012).

5.  Necator americanus
www.stanford.edu
a.       Klasifikasi N. americanus
          Phylum     : Nematode
          Class         : Secernentea
Ordo         : Strongylida
Famili       : Uncinariidae
Genus       : Necator
Species     : Necatoramericanus
            (Muslim, 2005)
b.       Epidemiologi
Insiden tinggi ditemukan pada penduduk di Indonesia, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan. Seringkali pekerja pekerbunan yang langsung berhungan dengan tanah mendapat infeksi lebih dari 70%.
Kebiasan defakasi ditanah dan pemakaian tinja sebagai pupik kebun (di berbagai daerah tertentu) paling dalam penyebaran infeksi. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva ialah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum untuk N.americanus 28 C-32 C, sedangkan untuk A.doudenale lebih rendah (23 C-25 C). Pada umumnya A.doudenale lebih kuat. Untuk menghindari infeksi, antara lain dengan menggunakan sandal atau sepatu (Entjang, 2011).

c. Morfologi
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus, dengan mulut yang besar melekat pada mukosa dinding usus. Cacing betina berukuran kurang lebih ± 1 cm, sedangkan cacing jantan ± 0,8 cm. Bentuk badan Ancylostoma duodenalemenyerupai huruf C sedangkan bentuk badanNecator americanusbiasanya menyerupai bentuk S. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Ancylostoma duodenalemempunyai dua pasang gigi sedangkanNecator americanusmempunyai benda kitin. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks.
Cacing betina tiap harinya mampu mengeluarkan telur kira-kira 10.000-25.000 butir. Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari, keluarlah larva rabditiform. Dalam waktu ± 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah.
Telur cacing tambang besarnya ± 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel. Larva rabditiform panjangnya ± 250 mikron, sedangkan larva filariform panjangnya ± 600 mikron (Gunn and Sarah, 2012).

d. Siklus Hidup
21
Siklus hidupnya sebagai berikut : Telur → larva rabditiform → larva filariform → menembus kulit → kapiler darah → jantung kanan → paru → bronkus → trakea → laring → usus halus.Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit.
Infeksi Ancylostoma duodenalejuga dapat terjadi dengan menelan larva filariform.

e.       Patologi
          Gejala Necatoriasis dan Ankilostomiasis
·                Stadium larva:
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya dengan. Infeksi larva filariform Adoudenale secara oral menyebabkan penyakit wakana dengan gejala mual, muntah, iritasi faring, batuk, sakit leher dan serak.
·                Stadium dewasa:
Gejala tergantung pada (a) spesies dalam jumlah cacing dan (b) keadaan gizi penderita (Fe dan Protein). Tiap cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Aduodenale 0,08-0,34 cc. pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinifilia. Cacing tambang biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja turun (Staf Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).
g.             Pencegahan dan Pegendalian
          Pencegahan:
·                Menghindari kontak langsung dengan tanah dan tempat kotor lainnya.
·                Hendaknya pembuangan feses pada tempat/WC yang baik.
·                Melindungi orang yang mungkin mendapat infeksi.
·                Pemberantasan melalui perbaikan sanitasi lingkungan
·                Hendaknnya penggunaan tinja sebagai pupuk dilarang, kecuali tinja tersebut
          sudah dicampur dengan zat kimia tertentu untuk membunuh parasitnya.
·                Penerangan melalui sekolah-sekolah.
·                Menjaga kebersihan diri.
·                Selalu menggunakan sandal atau alas kaki ketika bepergian.
·                Meminum vitamin B12 dan asamfolat.
Pengendalian:
Pengendalian dilakukan dengan cara pengobatan. Pengobatan yang dilakukan yaitu melalui obat pilihan bernama tetrakloretilen (juga infektif untuk Ancylostoma duodenale ). Obat lain yang bisa digunakan adalah mebendazol, albendazol, pirantelpamoat, bitoskamat, dan befenium hidrosinafoat (Entjang, 2011).

6. Ancylostoma duodenale, Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum
Ancylostoma duodenale
http://nematode.net/Images/duodenale.jpg
Ancylostoma braziliense
http://t1.gstatic.com

Ancylostoma caninum
http://t3.gstatic.com
a.         Klasifikasi
Klasifikasi Ancylostoma braziliense
Kingdom              : Animalia
Phylum                 : Nematoda
Class                     : Secernentea
Order                    : Strongylida
Family                  : Ancylostomatidae
Genus                   : Ancylostoma
Species                 : Ancylostoma braziliense

Klasifikasi Ancylostoma ceylanicum
Kingdom              : Animalia
Phylum                 : Nematoda
Class                     : Secernentea
Order                    : Strongylida
Family                  : Ancylostomatidae
Genus                   : Ancylostoma
Species                 : Ancylostoma ceylanicum

Klasifikasi Ancylostoma caninum
Kingdom              : Animalia
Phylum                 : Nematoda
Class                     : Secernentea
Order                    : Strongylida
Family                  : Ancylostomatidae
Genus                   : Ancylostoma
Species                 : Ancylostoma caninum
(Muslim, 2005)

b.             Epidemiologi
Ketiga cacing ini ditemukan di daerah topik dan subtropik dan juga ditemukan di Indonesia. Pemeriksaan di Jakarta menunjukkan bahwa pada sejumlah kucing ditemukan 72% Ancylostoma braziliense, sedangkan pada sejumlah anjing terdapat 18% Ancylostoma braziliense dan 68% Ancylostoma caninum. Diantara 100 anjing, 37% mengandung Ancylostoma ceylanicum. Cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya (Gunn dan Sarah,2012).

c.              Morfologi
   Ancylostoma braziliense mempunyai dua pasang gigi yang tidak sama besarnya. Panjang cacing jantan 4,7 – 6,3 mm dan cacing betina 6,1 – 8,4 mm.
   Ancylostoma ceylanicum dapat tumbuh menjadi dewasa pada manusia, di rongga mulut terdapat dua pasang gig yang tidak sama besarnya. Diantara 100 anjing, 3,7% mengandung Ancylostoma ceylanicum. Cacing ini juga ditemukan pada 50 ekor kucing sebanyak 24%. Kelompok anjing dan kucing ini berasal dari Jakarta dan sekitarnya.
   Ancylostoma caninum mempunyai tiga pasang gigi. Panjang cacing jantan 10 mm dan caing betina 14 mm (Staff Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

d.             Siklus Hidup
·                Anak anjing muda maupun anak kucing sangat rentan terhadap infeksi oleh cacing tambang karena pada umur 2-4 minggu persediaan Fe akan merosot yang disebabkan makanan utama anak anjing adalah air susu yang memang sangat kecil kandungan Fe nya. Anak anjing yang terinfeksi berat, segera mengalami anemia akut. Perdarahan usus terjadi pada hari ke 8 pasca infeksi dan pada akhir minggu ke 3 pasca infeksi penderita kehilangan darah setiap harinya setara dengan 20 % dari total volume eritrositnya. Pada anjing dan kucing dewasa hilangnya darah sebagian terkompensasi oleh kegiatan eritropoesis.
·                Infeksi anjing oleh A braziliense dan U stenocephala tidak megakibatkan perdarahan ebat seperti pada infeksi oleh A caninum. Infeksi kedua spesies tersebut cenderung lebih banyak ditandai oleh hipoproteinemia, radang usus, dan atrofiparsial villi intestinales. Hilangnya vili usus halus juga dialami oleh anjing yang terinfeksi A caninum dan mengakbatkan gangguan absorbsi makanan (Staf Pengajar Departemen Parasitologi, 2008 ).

e.              Patologi
   Pada manusia, larva tidak menjadi dewasa dan menyebabkan kelainan kulit yang disebut creeping erouption, creeping diseas atau cutaneous larva migrans.
   Creeping erouption adalah dermatitis dengan gambaran khas berupa kelainan intrakutan serpiginosa, yang antara lain disebabkan Ancylostoma braziliensedan Ancylostoma caninum. Pada tempat larva filariform membus kulit menjadi papel keras, merah dan gatal. Dalam beberapa hari terbentuk terowongan intrakutan sempit, yang tampak sebagi garis merah, sedikit menimbul gatal, gatal sekali dan bertambah panjang sesuai gerakan larva di dalam kulit. Sepanjang garis yang berkelok-kelok, terdapat vesikel kecil dan dapat terjadi infeksi sekunder karena kulit digaruk.
   Di Jakarta pernah dipelajari dipelajari 46 kasus creeping erouption yang terjadi atas orang dewasa dan anak. Kelainan kulit terutama ditemukan pada kaki dan juga lengan bawah, punggung dan bokong(Staf Pengajar Departemen Parasitologi, 2008).

f.              Pencegahan dan Pengendalian
Kucing dan anjing merupakan hospes definitif Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Penularan bisa dicegah dengan menghindari  kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja anjing dan kucing. Pengobatan pada kucing perlu mempertimbangkan jenis obat cacing yang digunakan dan umur atau berat minimum si kucing. Beberapa obat seperti diklorofen atau toluen hanya boleh diberikan pada kucing setidaknya dengan berat badan 1kg dan ivermektin setidaknya pada umur kucing 6 minggu diberikan selama 3 hari. Pyrantel pamoat dapat diberikan setelah umur 2 minggu sekali saja. adapula obat yang tidak boleh diberikan pada kucing, seperti golongan Milbemycin. Pengobatan Creeping eruption dapat dilakukan dengan memberikan semprotan kloretil ataupun albendazole, dosis tunggal 400 mg selama 3 hari berturut-turut cukup efektif. Pada anak dibawah umur 2 tahun albendazole diberikan dalam bentuk salep 2 % (Natadisastra, 2005).

8. Toxocara canis dan Toxocara cati

a. Klasifikasi
Klasifikasi Toxocara canis dan Toxocara cati
Phylum            : Nemathelminthes
Class                : Nematoda
Subclass          : Secernemtea
Ordo                : Ascoridida
Super famili     : Ascoridciidea
Genus  : Toxocara
Species            : Toxocara canis /cati

b.       Epidemiologi
Di Indonesia angka prevalensi tinggi terjadi pada anak-anak yang berusia antara 1-7 tahun, di Jakarta prevalensi pada anjing 38,3% dan pada kucing 26 %. Mereka lebih sering menghabiskan waktu bermainnya di rerumputan, duduk di pasir, yang merupakan tempat dimana cacing jenis ini berada. Pada remaja, biasanya terjadi pada mereka yang memiliki kegiatan yang aktif, misalnya, silat (berguling-guling di rerumputan, tanah, dsb), ataupun kegiatan yang berhubungan dengan tanah atau lapangan kotor. Sedangkan pada usia dewasa juga bisa terjadi pada mereka yang melakukan kegiatan kerja bakti membersihkan parit, halaman, pengangkut pasir, dsb. Tanah, lapangan, rumput yang terkontaminasi oleh cacing ini sangat mendukung cacing jenis ini untuk tinggal dan berkembang biak (Pujiyanto, 2004).

c.       Morfologi
Toxocara canis jantan mempunyai ukuran panjang bervariasi antara 3,6 – 8,5 cm, sedangkan yang betina antara 5,7 10,0 cm, Toxocara cati jantan antara 2,5 – 7,8 cm, yang betina antara 2,5 – 14,0 cm.
Bentuknya menyerupai Ascaris lumbricoides muda. Pada Toxocara canis terdapat sayap servikal yang berbentuk seperti lanset, sedangkan pada Toxocara cati bentuk sayap lebih lebar, sehingga kepalanya menyerupai kepala ular kobra. Bentuk ekor kedua spesies hampir sama; yang jantan ekornya berbentuk seperti tangan dengan jari yang sedang menunjuk (digitiform), sedangkan yang betina ekornya bulat meruncing. Telur menjadi infektif di tanah dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini dapat tertelan oleh anjing, kucing, bahkan manusia (Entjang, 2011).

d. Siklus hidup
Siklus hidup Toxocara canis dan Toxocara cati pada anjing atau kucing serupa dengan siklus askariasis pada manusia..
Siklus hidup Toxocara cati sebagian besar cacing gelang mempunyai siklus hidup yang mirip. Kebanyakan telur cacing menetas dalam waktu dua minggu. Obat cacing membasmi cacing dengan cara merusak sistem syaraf cacing. Obat cacing tidak bisa membasmi telur cacing karena telur tidak mempunyai sistem syaraf. Oleh karena itu pemberian obat cacing harus diulang 2 minggu kemudianagar cacing yang berasal dari telur yang baru menetas dapat segera dibasmi dengan tuntas.
Cacing Toxocara canis, hidup di tanah, lumpur, pasir dan tempat-tempat kotor. Varian lain diantaranya: Toxocara cati, Toxocara vitulorum, Toxocara pteropodis, Toxocara malayasiensis dll. Cacing ini daur hidupnya terutama melalui anjing, kucing dan dilaporkan bisa melalui herbivora (Pujiyanto, 2004).

e.       Patologi
Pada manusia larva cacing tidak menjadi dewasa dan mengembara di alat-alat dalam, khususnnya di hati. Penyakit yang disebabkan larva yang mengembara ini disebut visceral larva migrans dengan gejala eosinofilia, demam dan hepatomegali. Visceral larva migrans dapat disebabkan oleh larva nematoda lain (Gunn and Sarah, 2012).
Infeksi kronis biasanya ringan terutama menyerang anak-anak, yang belakangan ini cenderung juga menyerang orang dewasa, disebabkan oleh migrasi larva dari Toxocara dalam organ atau jaringan tubuh (Pujiyanto, 2004).

f.       Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan terhadap bahaya Toxocara canis dan Toxocara cati dapat dilakukan dengan mencuci tangan dengan sabun setelah memegang tanah atau sebelum makan. Selanjutnya dengan menghindari terjadinya kontaminasi tanah dan pekarangan tempat anak-anak bermain dari kotoran anjing dan kucing, terutama didaerah perkotaan dikompleks perumahan. Anjing dan kucing diberi obat cacing mulai dari usia tiga minggu, diulangi sebanyak tiga kali berturut-turut dengan interval 2 minggu dan diulang setiap 6 bulan sekali. Begitu juga binatang piaraan yang sedang menyusui anaknya diberikan obat cacing. Kotoran hewan baik yang diobati maupun yang tidak hendaknya dibuang dengan cara yang saniter (Entjang, 2011).






























PENUTUP
Kesimpulan :
a.       Species Nematoda intestinalis yang ditemukan pada manusia adalah A. Lumbricoides, T. Trichiura, O. Vermicularis,  S. Stercoralis, A. Duodenale, A. Brazilinase,  A. Canium,  N. Americanus,  T. Spiralis,  T. Canis dan T. Cati.
b.      Pada umumnya manusia menjadi hospes definitif Nematoda intestinalis.
c.       Morfologi setiap Nematoda intestinalis berbeda-beda. Cacing betina ukurannya lebih besar daripada cacing jantan.
d.      Pada umumnya, spesies Nematoda intestinalis sebelum tumbuh dewasa, larvanya berada di dalam serkulasi darah (siklus paru), kecuali T. Trichiura.
e.       Gejala klinis yang disebabkan Nematoda intestinalis dipengaruhi oleh tingkat infeksi (jumlah cacing), jenis parasit, stadium parasit (larva/dewasa), lokalisasi parasit dan lamanya kasus infeksi.
f.       Diagnosis penyakit yang disebabkan oleh Nematoda intestinalis dapat ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, bilasan duodenum, larva dalam jaringan melalui teknik jaringantekan atau diwarnai, tes intradernal dan tes serologi.
g.      Pengobatan penyakit yang disebabkan oleh species Nematoda intestinalis harus dibarengi dengan upaya peningkatan higienis dan sanitasi.
h.      Infeksi pada umumnya melalui tanah yang terkontaminasi tinja yang mengandung telur cacing (soil transmitted helminths), misalnya askariasis, trikuriasis, enterobiasis. Dalam daur hidupnya, Nematoda intestinalis membutuhkan  kondisi lingkungan yang mempunyai temperatur dan kelembaban yang sesuai.
i.        Lingkungan yang dibutuhkan oleh A. Lumbricoides sama dengan lingkungan yang dibutuhkan oleh T. Trichiura, sedangkan cacing tambang mempunyai persamaan dengan S. Stercoralis.
j.        Upaya pencegahan infeksi yang disebabkan oleh Nematoda intestinalis dapat dilakukan dengan pengobatan (individu dan masal), menghindari kontak dengan debu, tidak defekasi di sembarang tempat, sayuran dimasak sampai matang, memakai alas kaki, menghindari kontak/berdekatan dengan anjing dan kucing.

































DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Siti Aminah .2010.Identifikasi Telur Cacing Usus pada Lalapan Daun           Kubis yang Dijual Pedagang Kaki lima di Kawasan Simpang Lima          Semarang. Jurnal.unimus.ac.id. 9 Maret 2013 pukul 11.25 WIB
Entjang, Indan. 2011. Mikrobiologi danParasitologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Gunn, Alan and Sarah J.Pitt. 2012. Parasitology: An Integrated Approach. UK: John Wiley and Sons Ltd.
Muslim, M. 2005. Parasitologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Natadisastra, Djaenudin. 2005. Parasitologi Kedokteran: ditinjau dari organ tubuh yang diserang. Jakarta: EGC.
Nugroho, Cahyono dkk. 2010. Identifikasi Kontaminasi Telur Nematoda Usus          pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Warung Makan Lesehan    Wonosari         Gunung Kidul Yogyakarta tahun2010. Journal.uad.ac.id. 8       Maret 2013      pukul 10.20 WIB
Pujiyanto, Sri. 2004. Khazanah Pengetahuan Biologi. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Staf Pengajar Departemen Parasitologi FK UI. 2008. Parasitologi Kedokteran.         Jakarta: Universitas Indonesia
Wani, Imtiaz and Mir Nazir. 2010. Historical Review of Intestinal Ascariasis: Surgical History. Global Journal of Medical Research. Vol.10 Issue 3 (Ver 1.0) 8 Maret 2013 pukul 11.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar