BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Rheumatoid arthritis merupakan
penyakit multi sistem kronik yang di tandai oleh berbagai manifestasi klinis, dengan
awitan penyakit umumnya pada usia 35 dan 50 tahun. Gambaran utama adalah
sinovitas inflamatorik yang biasanya mengenai sendi perifer. Penyakit ini
memiliki kecenderungan merusak tulang rawan, menyebabkan erosi tulang, dan
menimbulkan kerusakan sendi. Tangan, pergelangan tangan, dan kaki sering
terkena. Timbul nyeri yang di perburuk oleh gerakan di sertai pembengkakan dan
nyeri tekan.selain itu gejalah sinovitis, sebagian pasien memperlihatakan rasa
lelah, anoreksia,lemah otot,penurunan berat badan dan gejalah tulang otot yang
samar. Kelainan di luar sendi adalah nodus rheumatoid vaskulitis, dan gejalah
pleuropulmoner (Isselbacher, et all., 1998).
Di Indonesia, prevalensi AR hanya
0,1-0,3 persen di kelompok orang dewasa dan 1:100 ribu jiwa dikelompok anak-anak.
Total, diperkirakan hanya terdapat 360 ribu pasien di Indonesia. “Walau
prevalensi rendah, penyakit ini sangat progresif dan paling sering menyebabkan
cacat,” ujar Prof DR dr Harry Isbagio, SpPD-KR, Guru Besar Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (Price. A Sylvia, Wilson M. Lorraine, 2003)
Wanita tiga kali lebih sering
menderita rheumatoid artritis (radang sendi) dibanding dengan laki-laki (3:1).
Penyakit ini menyerang semua etnis, dengan insiden pada orang berusia di atas
18 tahun berkisar 0,1 persen sampai 0,3 persen, sedangkan pada anak-anak dan
remaja yang berusia kurang dari 18 tahun 1/100.000 orang.Prevelensi
diperkirakan kasus RA diderita pada usia di atas 18 tahun dan berkisar 0,1%
sampai dengan 0,3% dari jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan studi, RA lebih
banyak terjadi pada wanita dibandingkan pria dengan rasio kejadian 3 : 1.
Penyakit ini 75 % diderita oleh kaum wanita, bisa menyerang semua sendi.
Prevalensi meningkat 5 % pada wanita diatas usia 50 tahun (Padip R. Patel,
1990).
Onsetnya biasa perlahan namun bisa
menjadi penyakit relaps akut atau kronis di tandai dengan keadaan umum sakit
berat. Manifestasi ekstraartikuler sangat penting untuk menentukan
morbiditas penyakit ini. Sering ditemukannya adanya riwayat penyakit serupa
dalam keluarga. Prevalensi meningkat 5 % wanita di atas usia 50 tahun (Padip R.
Patel, 1990).
Membran sinovial membungkus sendi
dan menahan cairan, sedangkan sinovial sebagai pelumas. Permukaan sendi adalah
tulang rawan sendi, yaitu bahan/struktur halus yang seperti karet dan melekat
ke tulang. Permukaan tulang rawan sendi tidak semulus bantalan poros buatan
manusia. Di perkirakan bahwa kekasaran tulang rawan ini berperan dalam
pelumasan sendi dengan menangkap sebagian dari cairan sinovial. Dan juga di
perkirakan sifat tulang rawan sendi yang berpori berperan dalam pelumasan sendi
(Mansjoer A., et all., 2000).
1.2.
Tujuan Penulisan
Makalah
1. Untuk mengetahui pengertian dari Rheumatoid
arthritis
2. Untuk
mengetahui epidemiologi dari Rheumatoid arthritis
3. Untuk
mengetahui etiologi dari Rheumatoid arthritis
4. Untuk
mengetahui manifestasi klinik dari Rheumatoid arthritis
5. Untuk
megetahui diagnosis dari Rheumatoid arthritis
6. Untuk
mengetahui terapi/penatalaksanaan dari Rheumatoid arthritis
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Rheumatoid Arthritis (RA)
Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun
kronik dimana sistem imun tubuh menyerang jaringan yang sehat dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan kerusakan sendi, nyeri kronik, gangguan hingga
hilangnya fungsi sendi hingga kecacatan. Arthritis rheumatoid adalah tipe
arthritis yang paling parah dan dapat menyebabkan
cacat, kebanyakan menyerang perempuan hingga tiga sampai empat kali daripada laki-laki. RA pada umumnya menyerang persendian
tangan, kaki dan pergelangan serta menurunkan tingkat harapan hidup hingga 6 –
10 tahun (Price. A Sylvia, Wilson M. Lorraine., 2003)
Rematik dapat menyerang
hampir semua sendi, tetapi yang paling sering diserang adalah sendi di
pergelangan tangan, buku-buku jari, lutut dan engkel kaki. Sendi-sendi lain
yang mungkin diserang termasuk sendi di tulang belakang, pinggul, leher, bahu,
rahang dan bahkan sambungan antar tulang sangat kecil di telinga bagian dalam.
Rematik juga dapat memengaruhi organ tubuh seperti jantung, pembuluh darah,
kulit, dan paru- paru. Serangan rematik biasanya simetris yaitu menyerang sendi
yang sama di kedua sisi tubuh, berbeda dengan osteoartritis yang biasanya
terbatas pada salah satu sendi.
2.2 Epidemiologi RA
Arthritis rheumatoid masih menjadi
masalah kesehatan dunia, diperkirakan 0,5-1 % dari populasi global menderita
AR. Peluang terjadinya penyakit hati pada penderita AR dua kali lebih besar
dari yang tidak menderita. America Arthritis Fondation melaporkan, penderita AR
berisiko dua kali lebih besar terkena penyakit jantung sehingga meningkatkan
angka kematian penderita Cardiovascular dan infeksi. Lima puluh persen pasien
AR mengalami kecacatan fungsional sementara setelah 20 tahun, 80 % cacat dan
dapat mengurangi usia harapan hidup 3-18 tahun.
Studi epidemiologi melaporkan
berbagai faktor risiko yang dihubungkan dengan terjadinya penyakit AR, seperti
faktor kerentanan terhadap penyakit dan faktor inisiasi yaitu faktor yang
diduga meningkatkan risiko berkembangnya penyakit
Faktor kerentanan seperti :
1) jenis
kelamin
2) Usia. Dapat
terjadi pada usia muda 30-50 tahun, usia lanjut terutama pada wanita kasus AR
meningkat.
3) Obesitas :
memacu meningkatnya oksidan melalui berbagai mekanisme
4) Genetik,
keluarga yang memiliki anggota keluarga terkena AR memiliki risiko lebih
tinggi, dan dihubungkan dengan gen HLA-DR4. Faktor inisiasi adalah perokok ,
infeksi bakteri atau virus menjadi inisiasi dari AR, pil kontrasepsi, gaya
hidup : stres dan diet mengawali inflamasi sendi.
(Isselbacher,
et all., 1998)
2.3. Etiologi
Penyebab yang pasti tidak diketahui,
tetapi berbagai faktor (termasuk kecenderungan genetik) bisa mempengaruhi
reaksi autoimun. Artritis rheumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius,
disebabkan oleh peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut
persendian. Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendi-sendi terutama pada
jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku dan lutut. Penyebab artritis
rheumatoid masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya
telah terungkap. Faktor genetik dan lingkungan diduga timbulnya penyakit ini.
Faktor infeksi sebagai penyebab artritis rematoid patogenesis Patogenesis
dimulai dengan terdapatnya suatu antigen.
Biasanya rematoid arthritis
disebabkan oleh :
1. Faktor
genetik
2. Faktor
lingkungan
3. Infeksi :
mendadak dan timbul dengan di sertai gambaran inflamasi mencolok. Yang
disebabkan oleh bakteri dan virus.
4. HSD ( Heat
Shock Protein )
5. Sekelompok
protein berukuran sedang ( 60 sampai 90 KDA)
6. Respon
Stress
(Palande DD., 2009)
2.4. Manifestasi Klinis
Pasien-pasien dengan RA akan
menunjukan tanda dan gejala seperti :
1. Nyeri
persendian
2. Persendian
Bengkak
3. Kekakuan
pada sendi terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
4. Terbatasnya
pergerakan sendi sehingga mengganggu gerak sendi
5. Sendi-sendi
terasa panas
6. Demam
(pireksia)
7. Anemia
(pucat)
8. Berat badan
menurun
9. Kekuatan
berkurang
10. Tampak warna
kemerahan di sekitar sendi
11. Perubahan
ukuran pada sendi (lebih besar dari ukuran normal)
Yang tergolong Artritis rematoid
menurut American Reumatism Association ( ARA ) adalah bila terdapat 3 kriteria
dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 4 minggu, Kriteria-kriteria tersebut
adalah :
a. Kekakuan
sendi jari-jari tangan pada pagi hari ( Morning Stiffness )
b. Nyeri saat
menggerakan sendi atau nyeri sendi saat ditekan sekurang-kurangnya pada satu
sendi
c. Pembengkakan
(oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan ) pada salah satu sendi
secara terus-menerus sekurang-kurangnya selama 6 minggu
d. Pembengkakan
pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain
e. Pembengkakan
sendi yang bersifat simetris di kedua tangan kanan dan kiri
f. Nodul
subcutan pada daerah tonjolan tulang didaerah ekstensor (punggung tangan)
g. Gambaran
foto rontgen yang khas pada arthritis rheumatoid
h. Uji
aglutinnasi faktor rheumatoid +
i.
Pengendapan cairan musin yang jelek
j.
Perubahan
karakteristik histologik lapisan sinovia
k. gambaran
histologik yang khas pada nodul
Pada tahap yang lanjut akan ditemukan tanda dan gejala
seperti :
1) Gerakan
sendi (tangan dan kaki) menjadi terbatas
2) Adanya nyeri
tekan pada sendi
3) Pembengkakan
bertambah
4) Penurunan
kekuatan gerak
5) Depresi
(Kee JL., 2004)
2.5. Diagnosis
2.5.1
Pemeriksaan radiologi
Sendi bisa normal pada awalnya, penyakit rheumatoid urutan timbulnya
kelainan yang khas adalah :
a. Pembengkakan
jaringan lunak dan osteoporosis periartikuler
b. Penyempitan
rongga sendi dan erosi periartikuler
c. Subluksasi
dan osteoarthritis timbul pada penyakit yang sudah berlangsung lama
(Maluekaa RG., 2007)
2.5.2
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dikaitkan dengan AR
adalah pemeriksaan rheumatoid factor (RF) dan anti-citrullinated protein
antibodies (ACPA). ACPA dikenal 2 macam yaitu pemeriksaan anti-cylic
citrullinated peptide (anti-CCP) dan anti-mutated vimentin (anti-MCV).
(Maluekaa RG., 2007)
2.6. Terapi /
Penatalaksanaan
Tujuan terapi rematik
utamanya adalah untuk meningkatkan atau memelihara status fungsionalnya
sehingga meningkat kualitas hidup pasien.
2.6.1 Terapi farmakologi
Terapi farmakologi adalah terapi
menggunakan obat-obatan. Obat-obat untuk rematik dikenal dengan istilah DMARD (disease-modifying
antirheumatic drug). Obat-obat yang biasa digunakan dalam penanganan
rematik adalah :
1.
NSAIDs (Non-steroid antiinflammatory drugs)
Obat-obat NSAID umumnya dipakai sebagai terapi komplementer, jarang
digunakan secara tunggal/monoterapi pada AR. Obat ini bekerja menghambat
sintesis prostaglandin yang merupakan mediator inflamasi dengan menekan kerja
enzim siklooksigenase. Penghambatan ini tidak selektif sehingga obat-obat ini
menyebabkan efek samping gastrointestinal. Golongan penghambat selektif
siklooksigenase-2 (COX-2) memiliki efikasi yang sebanding dengan NSAIDs tetapi
efek samping gastrointerstinalnya lebih ringan.
2.
Metotreksat
Saat ini MTX dianggap sebagai obat DMARD pilihan oleh banyak rematologis
untuk mengatasi AR. MTX bekerja dengan menghambat produksi sitokin (cytokines),
menghambat biosintesis purin, dan mungkin menstimulasi pelepasan adenosin, yang
semuanya dapat mengarah pada kerja antiinflamasi. Obat ini memiliki onset yang
agak cepat, hasil dapat dilihat kurang lebih 2-3 minggu setelah dimulainya
terapi. Obat bisa diberikan secara i.m., s.c., atau p.o.
Efek samping atau gejala toksisitas MTX adalah gangguan gastrointestinal,
hematologi, pulmonar, dan hepatik. Test terhadap fungsi liver perlu dilakukan
untuk memantau penggunaan obat ini. MTX dikontraindikasikan untuk kehamilan dan
menyusui, gangguan liver kronis, defisiensi imun, leukopenia, trombositopenia,
gangguan darah, serta pasien yang kreatin klirens-nya kurang dari 40 mL/min.
Karena MTX adalah antagonis asam folat, maka ia juga dapat menyebabkan
defisiensi asam folat. Untuk itu suplementasi asam folat diperlukan untuk
mengurangi efek samping ini (Schuna, 2005).
3.
Leflunomid
Leflunomid memiliki efikasi yang mirip dengan MTX dalam mengatasi AR. Ia
bekerja dengan menghambat sintesis pirimidin, sehingga dapat menurunkan
proliferasi limfosit dan menghambat inflamasi. Obat ini diberikan dengan
loading dose 100 mg sehari untuk 3 hari, dan dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 20 mg sehari. Seperti MTX, obat ini cukup toksis terhadap hati,
sehingga dikontraindikasikan bagi pasien yang punya riwayat gangguan liver.
Selain itu obat ini juga teratogenik, sehingga tidak boleh digunakan pada
wanita hamil atau yang merencanakan hamil. Bedanya, leflunomid jarang
menyebabkan gangguan darah, sehingga memungkinakan untuk dipakai pada pasien
dengan gangguan darah.
4.
Hidroksiklorokuin
Obat ini dikenal sebagai antimalaria, tetapi juga dapat menekan sistem
imun, sehingga seringkali digunakan pada penyakit gangguan imun. Kelebihan obat
ini adalah ia tidak toksis terhadap hepar atau renal. Toksisitasnya bersifat
jangka pendek, meliputi : gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah atau
diare.
5.
Sulfazalazin
Sulfasalazin adalah suatu prodrug yang akan diuraikan oleh bakteria di usus
menjadi sulfapiridin dan asam 5-aminosalisilat. Sulfapiridin inilah yang diduga
bertanggung-jawab terhadap aktivitas antirematiknya. Penggunaan sulfasalazin
agak terbatas karena menyebabkan beberapa efek samping antara lain efek
gastrointestinal (mual, muntah, diare dan anoreksia), alergi, leukopenia,
alopesia, dan peningkatan enzim hepatik. Obat ini berinteraksi dengan antibiotik
yang membunuh bakteri kolon, dapat mengikat suplemen besi, dan meningkatkan
efek warfarin.
6.
Kortikosteroid
Kortikosteroid digunakan pada AR karena efek antiinflamasi dan
imunosupresifnya. Obat ini bisa menghambat sintesis prostagandin dan
leukotrien, menghambat reaksi radikal superoksida netrofil dan monosit,
mencegah migrasi sel monosit, limfosit, dan monosit, sehingga dapat mencegah
respon imun.
7.
Agen biologis
Golongan obat ini termasuk obat baru hasil rekayasa genetik, seperti :
etenercept, infliximab, adalimumab, dan anakinra. Obat ini mungkin efektif,
jika obat lain tidak berhasil. Harganya masih mahal, dan belum ada di
Indonesia. Tidak ada resiko toksisitas yang membutuhkan pemantauan lab, tetapi
ada laporan bahwa obat ini sedikit meningkatkan resiko infeksi. Untuk itu,
pasien yang sedang infeksi sebaiknya tidak menggunakan obat ini. Berikut ini
adalah keterangan singkat tentang agen biologis tersebut.
a.
Etanercept adalah suatu protein yang terdiri dari
reseptor TNF (tumor necrosis factor) yang berikatan dengan antibodi IgG. Obat
ini akan mengikat TNF sehingga secara biologis menjadi inaktif dan tidak bisa
berikatan dengan reseptornya. Seperti diketahui, TNF adalah salah satu sitokin
yang terlibat dalam patogenesis AR.
b.
Infliximab merupakan anti TNF, ia juga akan mengikat
TNF sehingga tidak bisa berikatan dengan reseptornya.
c.
Adalimumab juga merupakan antibodi terhadap TNF.
d.
Anakinra adalah antagonsi reseptor inteleukin-1
(IL-1). Diketahui bahwa IL-1 sangat terlibat dalam patogenesis AR. Obat ini
akan mengikat reseptor IL-1, sehingga mencegah IL-1 untuk berikatan dengan
reseptornya
(Stovitz
SD, Johnson RJ.,2003)
2.6.2 Terapi nonfarmakologi
Beberapa contoh dari terapi
nonfarmakologi adalah istirahat, fisioterapi, penggunaan alat bantu, penurunan
berat badan, atau pembedahan. Fisioterapi bisa dilakukan dengan pemanasan
pada sendi yang meradang sehingga tidak terjadi kekakuan. Setelah peradangan
mereda bisa dilakukan latihan aktif yang rutin, tetapi jangan sampai terlalu
lelah. Biasanya latihan akan lebih mudah jika dilakukan di dalam air.
Pembedahan dilakukan jika pemberian obat tidak membantu. Pembedahan biasanya
dilakukan untuk mengganti sendi lutut atau sendi panggul dengan sendi buatan.
Persendian juga bisa diangkat atau dilebur (terutama pada kaki), supaya kaki
tidak terlalu nyeri ketika digunakan untuk berjalan. Penderita yang menjadi
cacat karena artritis rematoid bisa menggunakan beberapa alat bantu untuk
menyelesaikan tugas sehari-harinya. Contohnya adalah sepatu ortopedik khusus
atau sepatu atletik khusus.
(Padip R. Patel., 1990)
2.6.3 Obat
tradisional
Herbal yang digunakann untuk mengatasi arthritis
rheumatoid adalah bawang putih, beluntas, daun sendok, gandarusa, jahe
merah, kunyit, sambiloto, sembung, temulawak, dan sidaguri. Herbal-herbal
tersebut mengandung berbagai macam antioksidan yang mencegah penyakit yang
disebabkan oleh asam urat. Bawang putih mengandung alilin yang
akan terpecah menjadi alisin dan berguna untuk menghancurkan endapan darah
arteri menghilangkan nyeri (anti-inflamasi) dan diuretik. Beluntas mengandung
flavonoid yang berfungsi menghilangkan nyeri akibat rematik, nyeri tulang, dan
sakit pinggang. plantagin, aukubin, asam ursolik pada daun sendok berkhasiat
menurunkan kadar asam urat dalam darah, diuretic, melarutkan endapan garam
kalsium yang terdapat dalam ginjal dan kandung kencing. Justicin pada gandarusa
berfungsi antirematik. Jahe merah, temulawak dan kunyit memiliki minyak atsiri,
gingerol, kurkumin, berkhasiat untuk melancarkan peredaran darah, anti
inflamasi, dan menghilangkan nyeri rematik. Berikut tabel bermacam-macam buah
yang berguna untuk mengatasi rematik :
NO
|
BUAH
|
KHASIAT
|
1
|
Jambu biji
|
Mengandung vitamin C (9 kali lebih
banyak daripada jeruk), mineral (Fe, P, K, Ca,), pectin, tanin, dan serat.
Berkhasiat untuk menurunkan kolesterol, mengurangi infeksi, membersihkan
darah, mengurangi konstipasi, dan menstabilkan gula darah
|
2
|
Jeruk manis
|
Vitamin C, B6, K, Ca, B1, P, Mg, Cu, folat, asam
pantotenat untuk meningkatkan daya tahan tubuh, penyerapan zat besi, dan
kesehatan kardiovaskular
|
3
|
Mangga
|
Mengandung vitamin A, pectin, dan
fruktosa. berkhasiat untuk membersihkan sistem sirkulasi darah, mengurangi
dehidrasi, menguatkan jaringan tubuh
|
4
|
Melon
|
Mengandung vitamin A, vitamin C, Ca, K, Mg, P.
Bermanfaat untuk membersihkan sirkulasi darah, dan menstabilkan darah tinggi.
|
5
|
Pepaya
|
Mengandung
vitamin A, B, C. Jika mangga dicampur dengan papaya dapat mengurangi
pembengkakan dan peradangan
|
8
|
Sirsak
|
Mengandung air dan karbohidrat (glukosa dan
fruktosa), vitamin C, P, Ca, K, dan serat pangan. Berkhasiat mengatasi asam
urat, nyeri pada sendi pada pinggang, pinggul, dan membantu pembentukkan
massa tulang.
|
9
|
Tomat
|
Mengandung provitamin A, B1, C,
dan asam sitrat, serat, likopen. Berkhasiat mengobati arthritis (radang
sendi), membersihkan darah dan hati
|
(Isselbacher, et
all., 1998)
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Rheumatoid arthritis merupakan
penyakit autoimun progresif yang di tandai dengan peradangan membran
persendian. Autoimun merupakan gangguan pada sistem imun yang menyebabkan
kekebalan tubuh justru menyerang jaringan tubuh sendiri. Penyebab rematoid
arthritis belum diketahui, namun di lihat dari patofisiologinya disebabkan oleh
faktor genetik dan lingkungan diduga timbulnya penyakit ini. Faktor
infeksi sebagai penyebab artritis rheumatoid patogenesisnya dimulai dengan
terdapatnya suatu antigen yang berada pada membran sinovial.
Adapun pengobatan yang di anjurkan
yaitu : Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Golongan DMARD (disease
modifying antirematic drugs), NSAIDs
(Non-steroid antiinflammatory drugs), metotreksat, leflunomid, hidroksiklorokuin, sulfazalazin, kortikosteroid, agen biologis
(etanercept, infliximab, adalimumab, anakinra).
3.2 Saran
Arthritis rheumatoid
dapat menyerang segala usia maka penanganan penyakit ini diupayakan secara
maksimal dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan baik melalui tenaga
kesehatan, prasarana dan sarana kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Isselbacher,
et all. 1998. Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13, Yogyakarta : EGC
Kee JL. 2004. Pemeriksaan Laboratorium &
Diagnostik edisi 2. Jakarta: EGC
Maluekaa RG. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Cendekia Press
Mansjoer A. et all. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. 2000. Jakarta :
Media Aeaculapius. h.536-9.
Padip R.
Patel. 1990. RADIOLOGI edisi 2. Fransisco : Penerbit buku Erlangga
Medical Series
Palande DD. 2009. Arthritis Reumatoid. http://www.medicastore.com, diakses
tanggal 9 April 2013 pukul 15.00 WIB
Price. A
Sylvia, Wilson M. Lorraine. 2003. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta :
Penerbit buku kedokteran ECG
Stovitz
SD, Johnson RJ.
2003.
NSAID
and Musculoskeletal Treatmen. The
Physician and Sport Medicine Vol 31 N0 1 January 2003
Tanpa nama. 2010. Yang Perlu Anda Ketahui
Mengenai Penyakit Rematik. http://majalahkesehatan.com/yang-perlu-anda-ketahui-mengenai-penyakit-rematik/, diakses tanggal 9 April 2013 pukul 15.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar